Recently Published
Journal article

Analisis Kesesuaian Lahan dalam Pemilihan Jenis Tumbuhan pada Kegiatan Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Batubara

Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu di Taman Kota Semarang

Pengukuran Getaran Mekanik Berdasarkan Jenis Bangunan

Journal article

Profil Fitokimia dan Gc-ms Resin Dryobalanops Keithii

Journal article

Karakteristik Logam-logam dalam Partikel Tak Terlarut Debu Jatuh di Serpong

Journal article

Studi Awal Sumber Deposisi Basah di Serpong, Jakarta, dan Kotatabang Menggunakan Model PMF

Journal article

Profil Fitokimia dan Gc-ms Resin Dryobalanops Keithii

Journal article

Karakteristik Logam-logam dalam Partikel Tak Terlarut Debu Jatuh di Serpong

Journal article

Studi Awal Sumber Deposisi Basah di Serpong, Jakarta, dan Kotatabang Menggunakan Model PMF

Most Viewed
Journal article

Konsep Nilai Ekonomi Total dan Metode Penilaian Sumberdaya Hutan

Sumberdaya hutan (SDH) menghasilkan manfaat yang menyeluruh baik manfaat tangible maupun manfaat intangible. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai rendah, atau belum diketahui, sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi manfaat-manfaat yang telah dikenal dari SDH secara berlebihan. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat SDH secara komperehensif, khususnya untuk manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar. Untuk memahami manfaat dari SDH tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan SDH ini. Berbagai teknik dan metode penilaian ekonomi sumberdaya alam (SDA) telah dikembangkan untuk menghitung nilai ekonomi SDA yang memiliki harga pasar ataupun tidak. Dengan diketahuinya manfaat dari SDH ini maka hal tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya alam (SDA) yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat SDA yang adil, untuk mendapatkan total kesejahteraan masyarakat yang maksimal. Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan konsep nilai ekonomi total dan berbagai metode yang digunakan untuk menilai manfaat SDH dan lingkungan.
Journal article

Kajian Dampak Perubahan Fungsi Kawasan Hutan terhadap Masyarakat Sekitar

Perubahan fungsi kawasan hutan merupakan kegiatan merubah fungsi suatu kawasan hutan menjadi fungsi lainnya. Realisasi Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi atau hutan lindung dilakukan untuk menghentikan kegiatan eksploitasi pemanfaatan hasil hutan kayu dalam upaya menjaga kelestarian keaneka ragaman hayati, perlindungan plasma nutfah dan mempertahankan aset lainnya yang ada di kawasan hutan produksi. Landasan yuridis dalam pelaksanaan kegiatan Perubahan fungsi kawasan hutan mengacu pada pasal 19 ayat (1) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yaitu” Perubahan Peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Mekanisme yang mengatur Perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan No 70/KPTS-II/2000. Pelaksanaan Perubahan fungsi kawasan hutan ditujukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan fungsi hutan secara lestari dan berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian orientasi Perubahan fungsi kawasan hutan lebih pada aspek pemanfaatan hutan. Berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan perkembangan Perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan lainnya secara keseluruhan sampai dengan Januari 2007 seluas 884.860,36 hektar yang tersebar di seluruh Indonesia. Kegiatan ini mengkaji dampak Perubahan fungsi kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL) menjadi kawasan hutan dengan fungsi konservasi yaitu sebagai Taman Nasional (TN). Penelitian dilakukan pada 3 propinsi untuk Sumatera Utara dengan lokasi di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), untuk Jambi di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan untuk Kalimantan Tengah di Taman Nasional Sebangau (TNS). Metode penelitian dilakukan secara diskriptif kualitatif ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa kawasan hutan produksi yang mengalami Perubahan merupakan kawasan HPH yang sudah tidak aktif atau ijinnya sudah dicabut. Sehingga dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat sekitar hutan produksi tidak berpengaruh secara langsung karena sebagian masyarakat sekitar kawasan yang bekerja pada Perusahaan kayu bukan merupakan sumber mata pencaharian tetap. Berbeda dengan masyarakat yang bermukim sekitar kawasan hutan lindung dampak secara hukumnya terlihat setelah dilakukan tata batas, karena sebagian besar petani mempunyai lahan garapan di sekitar dan di dalam kawasan hutan lindung baik sebagai pemilik lahan maupun sebagai penggarap dengan rata-rata luas garapan 0,25 ha. Pada masing-masing lokasi dampak sosial ekonomi masyarakat berbeda-beda seperti di TNBG hanya ± 10 % dari 20 responden masyarakat yang merasakan dampak dari Perubahan fungsi kawasan yaitu masyarakat tidak bisa berburu terutama di kawasan lindung, di TNBD masyarakat tidak bisa membalok dan di TNS masyarakat tidak bisa berkebun. Sedangkan dampak terhadap lingkungan adanya penebangan liar, perambahan hutan dan penambangan liar.
Journal article

Kajian Hutan Kemasyarakatan sebagai Sumber Pendapatan : Kasus di Kab. Gunung Kidul

Journal article

Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung

Journal article

Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat terhadap Keberadaan Kawasan Kphp Model Poigar

Journal article

Kajian Hutan Kemasyarakatan sebagai Sumber Pendapatan : Kasus di Kab. Gunung Kidul

Journal article

Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung

Journal article

Analisis Persepsi dan Perilaku Masyarakat terhadap Keberadaan Kawasan Kphp Model Poigar

Suggested For You
Journal article

Kelembagaan Aforestasi dan Reforestasi Mekanisme Pembangunan Bersih (A/r Mpb) di Indonesia: Kasus di Nusa Teggara Barat dan Jawa Barat 1

Kelembagaan Mekanisme Pembangunan Bersih untuk dan (A/R MPB) Aforestasi Reforestasi menarik untuk dikaji karena berbagai hal, diantaranya: (i) siklus proses perolehan Sertifikat Penurunan Emisi yang panjang, sehingga pedoman yang jelas pada setiap tahap sangat diperlukan (Yamada dan Fujimori, 2003), (ii) lahan kosong dan terdegradasi yang perlu direhabilitasi sangat luas, dan (iii) merupakan alternative pilihan dana reboisasi yang menarik di tengah minimnya dana DR dan APBN. Bagaimana bentuk kelembagaan MPB, siapa saja lembaga yang terlibat dan apa saja yang perlu dilakukan terutama di tingkat daerah agar mekanisme pelaksanaan MPB lebih efisien dari aspek biaya dan waktu, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang mendasari dilakukannya penelitian ini. Metode AHP digunakan sebagai alat analisis. Pre-MPB proyek di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan JIFPRO ( ) sebagai investor awal dipilih sebagai lokasi penelitian. Japan International Forestry Promotion and Cooperation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan MPB A/R harus mencakup dan melibatkan kelembagaan pada tingkat daerah, nasional dan Internasional. Kelembagaan daerah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan MPBA/R, terutama berkaitan dengan pemilihan lokasi atau lahan MPByang layak berdasarkan definisi Protokol Kyoto, jelas status kepemilikannya, dan tidak mempunyai resiko sosial yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya bobot kepentingan indikator lahan dan indikator sosial di NTBdan jawa Barat, yaitu masing-masing 28% dan 31%. Struktur kelembagaan MPB A/R di daerah saat ini disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan sistem administrasi setempat. Karena itu struktur kelembagaan di NTB dan Jawa Barat berbeda, di NTB terdapat beberapa pihak yang mempunyai peran penentu dalam mengarahkan pelaksanaan MPB yaitu Dinas Kehutanan Propinsi, Gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur, Departemen Kehutanan terutama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) serta JIFPRO. Untuk Jawa Barat hanya melibatkan Departemen Kehutanan terutama Dirjen RLPS, dan BP DAS Citarum Ciliwung, serta JIFPRO. Keduanya melibatkan JIFPRO sebagai investor awal, yang menandakan pentingnya peran investor awal dalam memulai kegiatan MPBA/R. Hasil penelitian menyarankan perlunya dibentuk komisi daerah MPB atau forum MPB daerah yang dapat berfungsi untuk koordinasi, fasilitasi dan sinkronisasi kegiatan MPB mulai tingkat lokal sampai nasional.
Read more articles