Baru saja dipublikasikan
Paling banyak dilihat
“Menyembah Allah Dalam Roh Dan Kebenaran” (Yohanes 4:20\u002D26): Sebagai Suatu Landasan Praktek Ibadah Kristen Yang Alkitabiah: \u0022Worship God in Spirit and Truth\u0022 (John 4: 20\u002D26): as a Basis of the Practice of Christian Worship Image
Journal article

“Menyembah Allah Dalam Roh Dan Kebenaran” (Yohanes 4:20-26): Sebagai Suatu Landasan Praktek Ibadah Kristen Yang Alkitabiah: "Worship God in Spirit and Truth" (John 4: 20-26): as a Basis of the Practice of Christian Worship

Worship is not merely a routine ceremonial activity in the lives of Christians.  Worship is in fact a meeting between the Church and God.  In addition, worship is also an important means of reviving and strengthening the beliefs of the congregation, and to spread the love of Christ to those who do not know Christ.  The logical consequence of this realization is the effort to build worship practices on top of the right perspective foundation.  From the study of the meaning of "worshiping God in spirit and righteousness" in John 4:20-26, the theological implications were finally found for the establishment of biblical worship.  Firstly, the essence of worship is no longer centred on a place or liturgy, but to Jesus himself who is none other than God.  Second, worship centred on God.  Third, worshiping God in spirit and truth is essentially happening not solely because of the encouragement of the human spirit or the sincere attitude of man.  But more than that, true worship occurs when the Holy Spirit moves or empowers people to worship God.  Thus, a new believer can be involved in true worship when Christ is full sovereign as his personal saviour.  True worship also brings the believer to the earnest fulfilment of Christ's existence in his life.  Thus worship or worship is not destined to satisfy man, but to glorify God.  True worship will ultimately lead believers to preach Christ whom he has known to unbelievers.   ==== Ibadah bukanlah sekedar aktivitas seremonial rutin dalam kehidupan orang Kristen.  Ibadah pada hakikatnya merupakan perjumpaan antara jemaat dengan Allah.  Selain itu, ibadah juga merupakan sarana yang penting untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan jemaat, dan untuk menyinarkan kasih Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus.  Konsekuensi logis dari kesadaran ini adalah usaha membangun praktik ibadah di atas fondasi prespektif yang benar.  Dari kajian terhadap makna “Menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran” dalam Yohanes 4:20-26, pada akhirnya  ditemukan implikasi teologis bagi usaha menyelenggarakan ibadah yang Alkitabiah.  Pertama, esensi penyembahan bukan lagi berpusat kepada tempat ataupun liturgi, namun kepada Yesus sendiri yang tidak lain adalah Allah.  Kedua, penyembahan  yang dipusatkan kepada Allah.   Ketiga, menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran pada dasarnya terjadi bukan semata-mata karena dorongan roh manusia atau sikap tulus manusia.  Namun lebih dari itu, penyembahan yang benar terjadi pada saat Roh Kudus menggerakkan atau memberdayakan manusia untuk menyembah Allah.  Dengan demikian, umat percaya baru dapat terlibat dalam penyembahan yang benar apabila Kristus berdaulat penuh sebagai Juruselamatnya pribadi.  Penyembahan yang benar juga membawa umat percaya kepada pengenalan yang sungguh-sungguh  akan keberadaan Kristus dalam kehidupannya.  Dengan demikian penyembahan atau ibadah bukanlah diperuntukkan untuk memuaskan manusia, namun untuk memuliakan Allah.  Penyembahan yang benar pada akhirnya akan menuntun umat percaya untuk memberitakan Kristus yang telah dia kenal kepada orang-orang yang belum percaya.
Peran Kepemimpinan Misi Paulus dan Implikasinya Bagi Pemimpin Misi Masa Kini Image
Journal article

Peran Kepemimpinan Misi Paulus dan Implikasinya Bagi Pemimpin Misi Masa Kini

Gereja pada zaman ini mulai kehilangan esensi dan tujuan utamanya untuk memberitakan Injil. Salah satu faktor yang menyebabkan gereja kurang optimal dalam pemberitaan Injil adalah lemahnya kepemimpinan misi yang dimiliki. Kepemimpinan misi adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan menggerakan orang supaya terlibat aktif dalam misi Allah. Salah satu tokoh besar dalam kegerakan misi di dunia adalah Rasul Paulus. Oleh sebab itu, penilitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter kepemimpinan misi yang dilakukan oleh Paulus dan menghubungkan menjadi implikasi bagi pemimpin pada misi kini. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah adanya 5 prinsip kepemimpinan misi Paulus yang dapat diimplikasikan bagi pemimpin masa kini, yaitu berdoa dan terlibat aktif dalam pengabaran Injil (Integritas). Lalu mendidik jemaat dan mencetak pemimpin lokal. Dan menentukan standar misionaris.serta mempersiapkan misionaris untuk diutus. Dan yang selanjutnya mendukung misionaris melalui doa, motivasi, dan pencarian solusi atas setiap persoalan. Lalu yang terakhir di atas semua strategi yang Paulus lakukan, Paulus selalu bergantung kepada Allah.
Disarankan Untuk Anda
Pentakostalisme Dan Teori Sosial Kontemporer : Pentecostalism and Contemporary Social Theory Image
Journal article

Pentakostalisme Dan Teori Sosial Kontemporer : Pentecostalism and Contemporary Social Theory

The Pentecostal Movement is recognized for its contribution to global church growth and contemporary social theories. But by his own people pentecostalism is often positioned only as a revival, experience with the Holy Spirit, and divine healing which in its development becomes associated with eschatological issues. In terms of methodology, Pentecostal scholars outside Indonesia analyzed Pentecostalism based on religious and theological perspectives with the approach of ritual theory and spirituality studies. Theologians, activists, and intellectuals as well as Pentecostal scholars in Indonesia also have not developed Pentecostal studies further methodologically. They have not used methodological work to develop a study of the Pentecostal movement into a useful framework for theoretical study or field research in the existing membership colleges. On the contrary, by social scientists it utilizes Pentecostals as the main object of research on social phenomena but is only limited to the study of the dimensions of religious experience. By prioritizing the study of English literature and presenting statistical results of field survey research, this paper intends to develop a study of Pentecost in Indonesia methodologically. This paper shows how to understand Pentecostal phenomena from the perspective of social theory. The author first reads the literature on Pentecostalism, especially the one produced by Poloma and then constructs itself and then integrates it with social theory integrally. Then, the writer will classify it in three broad outlines, namely the Pentecostal religious experience of religious psychology; Pentecostal dimensions: symbolic, ritual, ceremony and institution from the perspective of comparative theory of religion; and community and Pentecostal popularity from the perspective of religious sociology. From here it will be seen the contribution of Pentecostals as both the object of precisely the study society and scientific methodology combined with contemporary social theories. This can be used by theologians, activists, and intellectuals as well as Pentecostal scholars in Indonesia specifically to develop studies of the Pentecostal movement in Indonesia specifically.   ==== Gerakan Pentakosta diakui kontribusinya terhadap pertumbuhan gereja secara global maupun teori-teori sosial kontemporer. Namun oleh kaumnya sendiri pentakostalisme seringkali diposisikan hanya sebagai kebangunan rohani, pengalaman dengan Roh Kudus, dan kesembuhan ilahi yang dalam perkembangannya menjadi dikait-kaitkan dengan persoalan eskatologis.  Dari sisi metodologi, sarjana Pentakosta di luar Indonesia menganalisis Pentakostalisme berdasarkan perspektif agama dan teologi dengan pendekatan teori ritual dan studi spiritualitas. Para teolog, aktivis, dan intelektual maupun sarjana Pentakosta di Indonesia juga belum mengembangkan kajian Pentakosta secara metodologis lebih lanjut. Mereka belum menggunakan kerja metodologis untuk mengembangkan kajian gerakan Pentakosta menjadi kerangka pikir yang bermanfaat dalam kajian teoritis maupun penelitian lapangan di sekolah-sekolah tinggi kepentakostaan yang ada. Sebaliknya, oleh ilmuwan sosial justru memanfaatkan kaum Pentakosta sebagai objek utama penelitian tentang fenomena sosial namun baru sebatas kajian terhadap dimensi pengalaman beragama.  Dengan cara mengutamakan studi literatur berbahasa Inggris serta menampilkan hasil statistik penelitian survei lapangan, tulisan ini bermaksud untuk mengembangkan kajian tentang Pentakosta di Indonesia secara metodologis. Tulisan ini memperlihatkan bagaimana memahami fenomena Pentakosta dari perspektif teori sosial. Penulis terlebih dahulu membaca literatur tentang Pentakostalisme khususnya yang dihasilkan Poloma dan kemudian mengkonstruksi sendiri lalu memadukannya dengan teori sosial secara integratif.  Kemudian, penulis akan mengklasifikasikannya dalam tiga kerangka pikir secara garis besar, yakni pengalaman keagamaan Pentakosta dari psikologi  keagamaan; dimensi Pentakosta: simbolik, ritual, seremoni dan institusi dari perspektif teori perbandingan agama; dan komunitas dan popularitas pentakosta dari perpektif sosiologi agama. Dari disini akan terlihat kontribusi kaum Pentakosta baik sebagai objek tepatnya masyarakat kajian maupun metodologis keilmuan berpadu dengan teori-teori sosial kontemporer. Ini bisa digunakan oleh para teolog, aktivis, dan intelektual maupun sarjana Pentakosta di Indonesia secara khusus untuk mengembangkan kajian gerakan Pentakosta di Indonesia secara khusus.
Baca artikel lainnya