Recently Published
Journal article

Ecotourism Management Strategy On Bangkobangkoang Island Pangkep Regency, South Sulawesi

Supply Chain Risk Management of Pine Resin by Using the House of Risk Model

Pattern of Increasing Air Temperature Based on BMKG and ERA5 Data in Central Sulawesi Province

Status of Sustainability Mangrove Ecosystem Management in Tarumajaya District, Bekasi Regency

Journal article

Village-owned Enterprises (Bumdes) as A Collaborative Model Environmental Management

Journal article

Characteristics Of Peatland Fires Based On Village Area And Land Cover In Kalimantan

Journal article

Assessment of Climate Change Based on Annual Trend and Change of Temperature in Manokwari, West Papua

Journal article

Village-owned Enterprises (Bumdes) as A Collaborative Model Environmental Management

Journal article

Characteristics Of Peatland Fires Based On Village Area And Land Cover In Kalimantan

Journal article

Assessment of Climate Change Based on Annual Trend and Change of Temperature in Manokwari, West Papua

Most Viewed
Journal article

Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut secara Lestari

Luas lahan gambut di Indonesia menurut Puslittanak (1981) adalah 26,5 juta Ha dengan perincian di Sumatera seluas 8,9 juta Ha, Kalimantan 6,5 juta Ha, Papua 10,5 juta Ha dan lainnya 0,2 juta Ha. Laju kerusakan hutan dilaporkan terus meningkat, laporan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan (2005) diperoleh bahwa laju deforestasi baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada periode antara tahun 1997 - 2000 di Indonesia mencapai 2,83 juta hektar/tahun termasuk di dalamnya kerusakan hutan lahan gambut.Tetapi akhiir-akhir ini dilaporkan tingkat degradasi menurun mendekati satu juta hekar. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik, dan rapuh (fragile), habitatnya terdiri dari gambut dengan kedalaman yang bervariasi mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15 m, mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lahan gambut mempunyai peran yang penting dalam menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan kehidupan, baik sebagai reservoir air, rosot dan carbon storage, Perubahan iklim serta keanekaragaman hayati yang saat ini eksistensinya semakin terancam. Oleh karena itu, pegelolaan secara bijaksana harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya maupun fungsi ekologi sehingga kelestarian hutan rawa gambut dapat terjamin. Lahan gambut mempunyai karakteristik yang spesifik seperti adanya subsidensi, sifat irreversible drying, hara mineral yang sangat miskin serta sifat keasaman yang tinggi dan mudah terbakar apabila dalam keadaan kering, kekurangan air pada lahan gambut tersebut, sehingga peran hidrologi/tata air di lahan gambut sangatlah penting. Ada beberapa tipologi di lahan rawa gambut yang perlu diketahui, sehingga dalam melakukan rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi dapat lebih berhasil. Pelestarian hutan rawa gambut dengan segala nilai kekayaan biodiversity harus segera ditindaklanjuti dengan nyata, dengan merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi.baik hidrologi maupun revegetasi. Pemilihan jenis yang tepat, teknologi dan kelembagaan rehabilitasi perlu dikaji dan diketahui sehingga kegagalan dalam melakukan rehabilitasi dapat dihindari. Lahan sulfat masam aktual merupakan salah satu lahan konservasi yang memerlukan jenis yang spesifik untuk dapat hidup di situ, karena adanya senyawa pirit yang bersifat racun. Jenis yang dapat tumbuh antara lain : gelam (Melaleuca sp.), tanah-tanah (Combretocarpus rotundatus) dan lain-lain. Konversi hutan lahan gambut untuk penggunaan lain diharapkan tidak terjadi lagi. Hasil uji coba pengembangan jenis pohon asli dan bernilai ekonomi perlu diimplementasikan untuk rehabilitasi kawasan lahan gambut yang terdegradasi.
Journal article

Kajian Permasalahan Industri Kayu dalam Kaitannya dengan Kebijakan Pembangunan Terminal Kayu Terpadu di Jawa Tengah

Industri pengolahan kayu dan mebel (IPKM) Jawa Tengah saat ini menghadapi permasalahan kekurangan bahan baku kayu. Hal ini memunculkan ide untuk membangun terminal kayu terpadu (TKT). Oleh karena investasi pembangunan TKT membutuhkan biaya yang sangat besar, sementara permasalahan inti industri kayu Jawa Tengah belum diketahui, maka diperlukan kajian untuk mengetahui dibutuhkan atau tidaknya terminal kayu terpadu sebagai fasilitas penunjang industri kayu di Jawa Tengah. Tulisan ini mengemukakan hasil kajian terhadap kebijakan pembangunan terminal kayu terpadu tersebut. Kajian difokuskan pada permasalahan yang dihadapi IPKM, solusi yang dikemukakan dan tingkat pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu. Kajian dilakukan dengan metode deskriptif dan eksploratif yang menganalisis data kuantitatif dan kualitatif, baik sekunder maupun primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap responden dengan kriteria tertentu yang dipilih secara purposive sampling. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat empat permasalahan utama IPKM Jawa Tengah, berturut-turut menurut prioritasnya adalah: (i)Kesenjangan antara pasokan dengan kebutuhan bahan baku kayu; (ii) Iklim usaha kurang kondusif; (iii) Kebijakan/peraturan dari pemerintah dirasa memberatkan dan tidak konsisten, dan (iv) Kompetensi sumber daya manusia, teknologi serta kelembagaan dan sarana/prasarana yang kurang. Sementara itu, pembangunan TKT bukan satu-satunya solusi yang harus dilakukan, melainkan harus simultan dengan alternatif solusi lainnya. Berdasarkan analisis diketahui bahwa apabila TKT dibangun saat ini maka akan kesulitan untuk mendapatkan pasokan kayu, baik dari luar Jawa mupun impor. Hal ini diebabkan oleh defisit bahan baku juga terjadi di wilayah utama (luar Pulau Jawa) penghasil kayu mencapai sekitar 50 juta m3 /tahun dan secara global mencapai lebih dari 740 juta m3 /tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat empat permasalahan utama IPKM Jawa Tengah, berturut-turut menurut prioritasnya adalah: (i)Kesenjangan antara pasokan dengan kebutuhan bahan baku kayu; (ii) Iklim usaha kurang kondusif; (iii) Kebijakan/peraturan dari pemerintah dirasa memberatkan dan tidak konsisten, dan (iv) Kompetensi sumber daya manusia, teknologi serta kelembagaan dan sarana/prasarana yang kurang. Sementara itu, pembangunan TKT bukan satu-satunya solusi yang harus dilakukan, melainkan harus simultan dengan alternatif solusi lainnya. Berdasarkan analisis diketahui bahwa apabila TKT dibangun saat ini maka akan kesulitan untuk mendapatkan pasokan kayu, baik dari luar Jawa mupun impor. Hal ini diebabkan oleh defisit bahan baku juga terjadi di wilayah utama (luar Pulau Jawa) penghasil kayu mencapai sekitar 50 juta m3 /tahun dan secara global mencapai lebih dari 740 juta m3 /tahun.
Journal article

Kebijakan USAha Tambang Batubara di Kawasan Hutan: Studi Kasus Kalimantan Timur

Journal article

Analisis Pemangku Kepentingan dalam Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan

Journal article

Kebijakan USAha Tambang Batubara di Kawasan Hutan: Studi Kasus Kalimantan Timur

Journal article

Analisis Pemangku Kepentingan dalam Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan

Journal article

Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali

Journal article

Analisis Tujuan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Papua

Journal article

Peran Biomasa Mangrove dalam Menyimpan Karbon di Kubu Raya, Kalimantan Barat

Suggested For You
Journal article

Perkembangan Implementasi Pasar Karbon Hutan di Indonesia

Pasar karbon REDD+ dapat menjadi insentif bagi pelaku implementasi REDD+ di lapangan. Permasalahan yang dihadapi adalah ketidakpastian pasar yang tinggi yang diakibatkan oleh belum tersedianya mekanisme transaksi karbon. Komitmen pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten relatif tinggi yang ditunjukan dengan disusunnya peraturan pendukung implementasi REDD+. Kegiatan REDD+ adalah dalam rangka menjaga hutan lestari dan seandainya terjadi perdagangan karbon maka hasil perdagangan merupakan manfaat tambahan.Stakeholder terutama pemda belum mengetahui secara pasti tentang tata cara atau mekanisme pasar karbon, termasuk standar karbon dan metodologi untuk mengha­sil­kan kredit karbon. Insentif yang diharapkan atas capai­an penurunan emisi yang dihasilkan lebih didasarkan pada perannya dalam pengelolaan hutan lestari/peningkatan kese­jah­teraan masyarakat bukan berdasarkan harga karbon. Terkait dengan pemenuhan target penurunan emisi 26% masih perlu kajian lebih jauh tentang proporsi yang dapat diklaim oleh pembeli. Besarnya proporsi perlu mempertimbangkan pangsa modal investasi antara pembeli dan pemerintah yang dikeluarkan, lain halnya jika pembiayaan awal ditanggung oleh pemerintah. Juga diperlukan lembaga registri yang mengelola kegiatan, capaian penurunan emisi, dan fasilitasi implementasi REDD+ di lapangan.Selain itu lembaga ini mengatur sistem insentif dan disinsentif dalam pengelolaan resiko kebocoran dan ketidakpermanenan.
Journal article

Menyelesaikan Konflik Penguasaan Kawasan Hutan melalui Pendekatan Gaya Sengketa Para Pihak di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lakitan

Journal article

Kontribusi Kawasan Hutan dalam Menunjang Ketahanan Pangan: Studi Kasus Propinsi Jawa Barat

Journal article

Proses Operasionalisasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Perspektif Teori Difusi Inovasi

Read more articles