Peradilan Agama sejak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 untuk Jawa dan Madura sampai dengan tahun 1989 belum mempunyai hukum acara yang tersusun dalam satu kitab. Peradilan Agama baru mempunyai hukum acara setelah berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo Undang-undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, akan tetapi masih terbagi dalam dua sumber, yaitu: (1) UU No. 7 tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 khusus untuk perkawinan, (2) hukum acara perdata pada pengadilan di lingkungan peradilan umum di luar perkara perkawinan. Dalam perkara di luar perkawinan antara konpetensi dan sumber hukum materiilnya dengan hukum acaranya tidak sejalan, sebab kompetensinya perkara Islam, sumber hukum materiilnya juga hukum Islam, sedangkan hukum acaranya adalah acara perdata pada pengadilan di lingkungan peradilan umum yang bersumber dari Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg), dan Burgelijk Wetboek (BW) buku IV. Masalah dalam penelitian ini ada dua (1) Bagaimana hakim mengkonstruksi hukum acara Peradilan Agama agar tercapai putusan yang adil ?. (2) Apakah hakim Peradilan Agama dalam proses menyelesaikan perkara di luar perkawinan menerapkan hukum acara lain selain hukum acara perdata pada peradilan umum ?. Tujuan penelitian ini (1) untuk mengkonstruksi hukum acara yang berlaku pada Peradilan Agama, (2) menemukan hukum acara yang diterapkan hakim Peradilan Agama dalam proses penyelesaian perkara di luar perkawinan. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, oleh karenanya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah Hermeneutika fenomenologi. Hasil penelitian, hakim Peradilan Agama mengkonstruksi hukum acara dalam proses penyelesaian kasus di luar perkawinan adalah gabungan antara hukum acara pada pengadilan di lingkungan peradilan umum dan hukum acara peradilan Islam. Hal ini dilakukan oleh hakim dalam rangka menghasilkan putusan yang adil. Konstruksi putusan yang adil bagi hakim adalah keadilan didasarkan pada nilai tertinggi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada tuhan. Untuk menghasilkan putusan yang adil hakim Pengadilan Agama masih mengambil hukum acara Islam dalam proses penyelesaian perkara di luar perkawinan, hakim tidak sepenuhnya menerapkan hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.Kata kunci: Konstruksi, Peradilan Agama, Hukum acara.