Penelitian disertasi yang berjudul “ Syi’ir Tanpa Waton Rekonstruksi Budaya Lokal Pada Konteks Tasawuf Di Pondok Pesantren Ahlus Shafa Wal Wafa Simoketawang Wonoayu, Sidoarjo Jawa Timur" bertujuan untuk mengetahui Makna Dalam Teks Syi’ir Tanpa Waton ,mengetahui Rekonstruksi Budaya Lokal Pesantren, mengetahui Syi’ir Pada Konteks Tasawuf. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian lapangan, yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan mengangkat data yang ada dilapangan.Adapun sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan lebih menekankan pada kekuatan analisis suber-sumber dan datadata yang ada dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk diinterpretasikan. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa langkah dan
menggunakan berbagai sumber untuk membantu proses pengumpulan data, diantaranya adalah wawancara, observasi dan dokumen. Semua data diuji keabsahannya dengan melalui cara kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan komfirmabilitas.Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisa isi secara kualitatif memampukan peneliti memahami teks syiir tanpo waton melalui
pengelompokkan kata-kata yang memiliki makna yang sama ke dalam kategorikategori, yang pada akhirnya akan membangun sebuah model atau sistem konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan: Konstruksi syi’ir ini di ilhami dari dari tasawuf yang perlu di ungkap asal usul, nilai, tradisi, praktik, pengetahuan dan mistisismenya. Sedangkan rekonstruksi asal usul syi’ir tanpa waton adalah ketika Gus Dur
menyanyikan syi’ir ini mengapa menggunakan bahasa Jawa, hal ini dikarenakan pengarang syi’ir yaitu Gus Nizam berasal dari tanah Jawa kemudian memasukkan unsur-unsur ajaran tasawuf ke dalam syi’ir tanpa waton dengan bahasa Jawa Krama, karena Gus Nizam menginginkan agar orang-orang Jawa dapat memahami karya sastranya dengan mudah dan masyarakat di Jawa memahami nilai-nilai tasawuf . Makna dalam teks syi’ir tanpo waton terletak pada pemakaian bahasa Arab sebagai pembuka syi’ir yang memiliki makna sangat mendalam serta memiliki kandungan tersendiri yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Pertama, syi’ir tanpa
waton memiliki kekhasan yang terdapat pada pemakaian bahasa Arab digunakan untuk membuka syi’ir. Pemilihan kata “Astaghfirullah‟ dijadikan sebagai pembuka syi’ir yang mengingatkan kepada manusia bahwa beristighfar atau meminta ampun kepada Tuhan perlu dilakukan setiap saat. Syi’ir tanpa waton pada konteks tasawuf dapat di ungkap melalui setidaknya 10 konsep tasawuf yang terdapat dalam syi’ir tersebut. Konsep-konsep tersebut adalah Taubat, Wara’ dan Zuhud, Şabar, Taslim, Ikhlas, Ridha, Tawakkal Syukur,dan Mahabbah serta konsep Dzikr al-Maut. Selain 10 konsep tasawuf pada syi’ir tanpa waton tersebut di dalam syi’ir tanpa waton juga
terdapat juga penjelasan tentang anjuran mengamalkan al-Maqamat al-Arba’ah (tingkatan empat), yaitu alSyarī’ah (syari’at), al-Tharīqah (tarekat), al-Haqīqah (hakikat) dan al Ma’rifah (ma’rifat). Serta satu konsep tentang moralitas sosial, sebagai implikasi dari ajaran tasawuf yang dikandungnya dan memiliki aspek budaya yang berakar kuat dalam sejarah.